Pemilu dalam Pandangan Islam

Hukum Menjadi Anggota Parlemen

Bila syarat-syarat untuk menjadi anggota parlemen nyata-nyata bertentangan dengan Islam, tentu kita tidak bisa menyatakan bahwa keanggotaan kaum muslim di dalam parlemen hanya dijadikan sebagai wasilah untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat, sehingga syarat yang bathil pun boleh diterima. Dengan kata lain, calon wakil rakyat absah-absah saja menerima syarat-syarat bathil itu selarna tujuannya adalah untuk melakukan koreksi dan memperjuangkan aspirasi Islam.

Pernyataan semacam ini adalah pernyataan bathil yang tidak sejalan dengan ‘aqidah dan syariat Islam. Perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah yang suci tidak boleh ditempuh dengan ?cara-cara keji dan bertentangan dengan syariat Islam.

Di sisi yang lain, keanggotaan dalam parlemen mengharuskan dirinya untuk bertanggungjawab terhadap semua keputusan yang terlahir dari parlemen. Jika parlemen membuat keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam misalnya, undang-undang perbankan ribawiy, maka seluruh anggota parlemen bertanggungjawab atas keputusan itu. Walaupun keputusan itu tidak disetujui oleh beberapa wakil rakyat dari partai Islam, akan tetapi ketika keputusan itu telah ditetapkan, maka ia tetap dianggap sebagai keputusan parlemen, bukan keputusan atas nama sebagian anggota parlemen. Lantas, dalam kondisi semacam ini apa yang dilakukan oleh anggota parlemen muslim?

Dalam kondisi semacam ini setiap anggota parlemen yang konsens dengan syariat Islam harus keluar dari keanggotaan parlemen, dan tidak boleh hanya sekedar melakukan walk out; jika dirinya tidak bisa mencegah lahirnya keputusan-keputusan yang tidak islamiy. Sebab, seorang muslim harus menghindarkan diri dari keputusan-keputusan yang bertentangan dengan syariat Islam.

Imam Nawawiy dalam syarah shahih Muslim, ketika menjelaskan hadits Rasulullah saw, “Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ?hendaknya ia ubah dengan lisannya. Jika ia tidak mampu mengubah dengan lisannya, maka ubahlah dengan hati; dan ini adalah selemah-lemahnya iman.”[HR. Muslim]; menyatakan, bahwa maksud mengubah dengan hati di sini tidak cukup berdiam diri dan menolak dalam hati, akan tetapi ia harus menghindari kemungkaran tersebut. Maksudnya adalah, jika seseorang tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisannya, maka ia harus menghindarkan diri dan tidak ikut campur dan teriibat di dalamnya, Misalnya, tatkala ada sekelompok orang sibuk membincangkan dan memutuskan aturan-aturan yang bertentangan dengan Islam, maka jika dirinya tidak mampu mengubah keputusan itu, maka ia harus keluar dari forum tersebut dan menunjukkan sikap ketidaksenangannya. Ia tidak diperkenankan tetap duduk, atau bahkan menjadi anggota forum tersebut, meskipun hatinya menolak. [Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, lihat tentang bab al-Iimaan]

Para khalifah di masa kejayaan Islam menjatuhkan hukuman cambuk bagi orang yang berada di dalam majelis khamer, meskipun ia tidak ikut serta minum dan hatinya menolak. Para ulama memahami bahwa berdiam diri atau tetap berada di dalam majelis kemaksiatan sama artinya dengan melibatkan diri dalam kemaksiatan itu sendiri. Dalam sebuah sabdanya, Rasulullah saw. menggambarkan orang yang berdiam diri terhadap kemungkaran dengan setan bisu.

Haramnya seorang muslim berada dalam suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt., telah ditegaskan oleh Allah Swt. di dalam al-Quran al-Karirn. Dalam surat al-An’am ayat 68 disebutkan:

Jika kamu melihat orang-orang yang mengolok-olok ayat-ayat Kami, maka berpalinglah kamu dari mereka, hingga mereka mengalihkan kepada pembicaraan lain. Dan jika kalian dilupakan setan (sehingga kamu duduk di forum itu), maka, setelah kamu ingat, janganlah kalian duduk bersama-sama orang yang dzalim itu. [al-An’am: 68].

Ayat ini diperkuat juga dengan firman Allah Swt. dalam surat An-Nisaa’: 140

Dan sungguhnya Ia telah menurunkan atas kamu, di dalam al-Kitab ini,“Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah tidak dipercayai, dan diperolok-olok, maka janganlah kamu duduk beserta mereka, hingga mereka masuk kepada pembicaraan lain; sebab, jika kalian melakukan seperti itu maka kamu seperti mereka“ [al-Nisaa’: 140]

Dalam menafsirkan surat al-An’am ayat 68, Ali Al-Shabuniy menyatakan, “Jika engkau melihat orang-orang kafir mengolok-olok al-Quran dengan kebohongan dan kedustaan dan olok-olok, ?maka janganlah kalian duduk dan berdiri bersama mereka sampai mereka mengatakan kepada perkataan lain, dan meninggalkan olok-olokan dan pendustaannya.“[Ali al-Shabuniy, Shafwaatal-Tafaasir, juz I, hal.397] Imam al-Suddiy berkata, “Saat itu orang-orang musyrik jika duduk bersama orang-orang mukmin, dan membicarakan tentang Nabi saw. dan al-Quran, orang-orang musyrik itu lantas mencela dan mengolok-oloknya. Setelah itu, Allah Swt. memerintahkan kaum mukmin untuk tidak duduk bersama mereka, sampai mereka mengalihkan kepada pembicaraan lainnya.” [Imam al-Thabariy, Tafsir Thabariy, juz II, hal.437]

Dalam menafsirkan surat al-Nisaa’:140, Ali al-Shabuniy berkata, “Telah diturunkan kepada kalian, suatu perintah yang sangat jelas bagi orang-orang yang nyata-nyata beriman. Perintah itu adalah; jika kalian mendengar al-Quran diingkari dan diolok-olok oleh orang-orang kafir dan para pengolok, maka janganlah kalian duduk bersama orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat Allah itu, sampai mereka mengalihkan pada pembicaraan lain dan tidak lagi mengolok-olok al-Quran. Namun, jika kalian tetap duduk bersama mereka, maka kalian tidak ubahnya dengan mereka dalam hal kekufuran” [Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I, hal. 312]

Ayat-ayat di atas dilalahnya qath‘iy. Dari sisi hukum kita bisa menyimpulkan, bahwa orang yang duduk di suatu forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah, dan mengingkari ayat-ayat Allah, sementara forum itu tidak pernah berubah untuk meng-ingat Allah, maka siapapun yang ada di dalamnya -meskipun hatinya menolak- telah terjatuh kepada tindakan haram. Haramnya duduk bersama orang-orang yang mengolok-olok, dan mengingkari ayat-ayat Allah, di-qarinahkan {diindikasikan) dengan firmanNya, “sebab, [jika kalian melakukan seperti itu] maka kamu seperti mereka” [al-Nisaa’: 140]

Tidak ada keraguan sedikitpun, setiap orang yang terlibat dalam dan berdiam diri terhadap forum-forum seperti itu, telah terjatuh kepada tindak keharaman, dan berserikat dalam kekufuran.

Lantas, apakah fakta parlemen kita sudah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah Swt., sehingga bisa diberlakukan hukum yang terkandung dalam surat al-An’am:68 dan al-Nisaa’:140? Jawabnya: parlemen kita telah terkategori sebagai forum yang mengolok-olok ayat-ayat Allah Swt. Ini didasarkan pada kenyataan berikut ini;

Pertama; MPR di negeri ini bertugas (sesuai dengan ketetapan MPR) mengangkat presiden dan wakil presiden. Apakah tindakan semacam ini tidak tergolong tindakan mengolok-olok dan mengingkari ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah. Sebab, pemimpin kaum muslim bukanlah presiden, raja, atau PM; akan tetapi khalifah/Imam/Amirul Mukminin. Sistem pemerintahan dalam Islam pun bukan presidensil, akan tetapi sistem Khilafah ?Islamiyyah. Lantas, apakah dibenarkan secara syar’iy, ada sekelompok orang berbondong-bondong menjadi anggota sebuah majelis untuk menelorkan produk-produk yang bertentangan dengan syari’at Allah; bahkan, memilih pemimpin dan mencgakkan sistem pemerintahan yang sangat bertentangan dengan Islam? Jawabnya sangat jelas: haram.

Kedua; mekanisme pengambilan keputusan di dalam parlemen didasarkan pada prinsip suara mayoritas (voting). Apakah prinsip ini dibenarkan dalam Islam?

Dalam hal-hal tertentu mekanisme pengambilan keputusan memang didasarkan pada suara terbanyak. Misalnya, hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas-aktivitas praktis dan hal-hal yang tidak membutuhkan penelitian dan kajian mendalam. Rasulullah saw. pemah mengambil keputusan berdasarkan suara mayoritas untuk menetapkan apakah kaum muslim bertahan di dalam kota atau di luar kota.

Selain perkara di atas, keputusan tidak boleh ditetapkan berdasarkan mekanisme voting. Contoh dari perkara yang tidak boleh ditetapkan berdasarkan voting adalah perkara-perkara yang telah ditetapkan status hukumnya berdasarkan nash-nash syara’. Misalnya, kewajiban mengerjakan sholat lima waktu telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil yang qathiy. Pertanyaannya, apakah dalam pelaksanaan sholat lima waktu kita harus menunggu hasil voting terlebih dahulu? Kita tidak mungkin menjawab, bahwa untuk memutuskan apakah sholat harus dikerjakan atau tidak, harus didasarkan pada hasil voting terlebih dahulu. Sungguh, siapa saja yang menvoting, apakah sholat itu perlu dikerjakan atau tidak, maka dirinya telah terjatuh kepada perbuatan haram.

Keterangan ini semakin menguatkan bahwa, selama mekanisme dan aturan main parlemen bertentangan dengan Islam dan tidak pernah berubah, maka seorang muslim diharamkan menjadi anggotanya dan duduk-duduk di dalamnya, meskipun hatinya menolak dengan cara walk out. Pertanyaan berikutnya adalah, apa hukum berwakalah dengan seseorang yang mau menerima syarat-syarat yang bathil? Dcngan kata lain, bolehkah kita memilih seseorang untuk menyuarakan syariat Islam, sementara itu wakilnya tersebut mengakui syarat-syarat yang tidak Islamiy?

Jawabnya, akad semacam telah batal dari sisi asasnya. Sebab, jika kita tetap berwakalah dengan dirinya, sama artinya kita mengiyakan syarat-syarat non syar’iy yang telah diterima oleh calon wakil rakyat. Oleh karena itu, aqad wakalah yang dijalin dengan calon wakil rakyat yang mengiyakan syarat-syarat bathil adalah aqad yang bathal dan tidak boleh dilanjutkan. Mencalonkan diri atau orang lain untuk menjadi anggota parlemen meskipun ditujukan untuk menggunakan salah satu fungsi parlemen, yakni fungsi koreksi dan muhasabah, merupakan tindakan haram yang bertentangan dengan syari’at Islam.

Benar, melakukan koreksi dan muhasabah merupakan kewajiban setiap kaum muslim. Akan tetapi, dalam melakukan koreksi dan muhasabah, seorang muslim mesti terikat dengan aturan-aturan Allah Swt. dan menggunakan cara dan wasilah yang sejalan dengan prinsip-prinsip syariah.

Seandainya berkecimpung dalam pemilu dan parlemen adalah haram, lantas, apakah ada jalan lain untuk menerapkan syariat Islam selain melalui parlemen atau pemilu?

Kesalahan Paralaks

Pada dasarnya, pemilu dan parlemen bukanlah satu-satunya cara untuk memperjuangkan syariat Islam. Masih banyak cara dan altematif lain yang bisa ditempuh oleh kaum muslim untuk memperjuangkan tertegaknya syariat klam. Yang penting, cara yang ditempuh tersebut sesuai dengan aqidah dan syariat Islam.

Pada dasarnya, pandangan-pandangan keliru tentang pemilu dan parlemen beranjak dari kesalahan paralaks. Kesalahan paralaks ini telah mengakibatkan lahirnya fatwa-fatwa dan strategi perjuangan yang salah. Kesalahan paralaks ini terwajahkan pada pandangan-pandangan berikut ini.

1.Selama ini, pemilu dianggap sebagai satu-satunya jalan untuk meraih kekuasaan dan menerapkan syari’at Islam. Meskipun mereka tidak menyatakan hal ini secara terbuka, akan tetapi alasan-alasan yang mereka ketengahkan telah menunjukkan dengan sangat jelas, keterjebakan mereka dalam kesalahan paralaks ini. Misalnya, alasan yang menyatakan, bahwa jika tidak mengikuti pemilu, maka parlemen akan dikuasai orang kafir. Muncul juga statement bahwa, mengikuti pemilu berhukum wajib berdasarkan kaedah “maa laa yatimm al-waajib illa bihi fahuwa waajib”; “akhdz akhaff al-dlararain”, dan sebagainya. Alasan-alasan ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mereka telah menganggap pemilu sebagai satu-satunya jalan untuk menerapkan syariat Islam.

2.Penerapan syariat Islam bisa ditempuh melalui jalan haram, selama di dalamnya ada kemashlahatan. Sebagian dari kaum muslim menyadari bahwa ada perkara dan mekanisme tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Misalnya, fungsi penetapan hukum (legislasi) serta mekanisme pemilu untuk mengangkat presiden. Padahal, kewenangan untuk menetapkan hukum tidak ada di tangan parlemen, akan tetapi di tangan Allah Swt. Dari sisi sistem pemerintahan, presiden bukanlah kepala negara yang absah menurut syariat. Kepala negara yang absah dalam pandangan Islam adalah khalifah, imam, atau amirul mukminin. Jika pemilu ditujukan untuk memilih presiden, sama artinya kita telah melanggengkan sistem pemerintahan republik yang sangat bertentangan dengan Islam. Sayangnya, calon-calon wakil rakyat dan sebagian besar masyarakat telah mengabaikan perkara-perkara ini, dengan alasan madlarat dan kemashlahatan umat.

Seharusnya, pemilu dipandang sebagai cara (uslub) untuk mengganti kepala negara dan memilih wakil rakyat yang berhukum mubah.

Tatkala kedudukan pemilu sebatas hanya uslub, maka hukum tentang pemilu ditetapkan berdasarkan mekanisme, dan syarat-syarat yang ada dalamnya. Selama syarat-syaratnya sejalan dengan syariat Islam, maka hukumnya tetap berada dalam wilayah mubah. Sebaliknya, tatkala di dalamnya ada mekanisme dan syarat yang bertentangan dengan Islam, maka terlibat maupun berkecimpung di dalamnya adalah tindak yang diharamkan oleh Allah Swt.[Selesai]
sumber: gaulislam.com

ParpoL


Wow….parpol? makanan ato apaan tuh? Enak gak????

Partai politik dapat diartikan sebagai sekumpulan orang2 yang tergabung dalam satu kelompok yang mempunyai landasan, ide, pemimpin, anggota yang bersama memperjuangkan pengaturan dan kepengurusan umat diatur dengan pandangan hidup/ideologi tertentu. jika ada sebuah kelompok yang menyebut dirinya sebagai sebuah partai politik tetapi tidak masuk parlemen berarti arti partai politik diatas adalah maksudnya.

Sebuah pergerakan yang melakukan aktivitas politik mempunyai pengertian bahwa perjuangan mereka adalah agar pengaturan dan pengurusan umat hanya diatur dengan ideologi tertentu oleh penguasa. Dalam hal ini, ideologi yang dimaksud adalah islam. Karena dengan keyakinan bahwa ideologi Islam adalah satu-satunya pandangan hidup yang paling benar dan sempurna. Karena bersumber dari sang Maha Pencipta dan pembuat hukum.

Ideologi islam adalah keimanan kepada Allah Swt yang maha Pencipta, pengatur alam dan pembuat sistem aturan hidup untuk manusia.

Bangkitnya manusia tergantung pada pemikirannya tentang hidup, alam semesta, dan manusia, serta alam kehidupan…. Agar manusia mampu bangkit harus ada perubahan mendasar dan menyeluruh terhadap pemikiran manusia dewasa ini, untuk kemudian diganti dengan pemikiran lain. Sebab pemikiranlah yang membentuk dan memperkuat mafahim (persepsi) terhadap segala sesuatu. Disamping itu, manusia selalu mengatur tingkah lakunya didalam kehidupan ini sesuai dengan mafahim (pemahaman) nya terhadap kehidupan. Tingkah laku manusia selalu berkaitan erat dengan mafahim yang dimilikinya. Dengan demikian, apabila kita hendak mengubah tingkah laku manusia yang rendah menjadi luhur, maka tidak ada jalan lain kecuali harus mengubah mahfum (nya terlebih dulu)

Dalam hal ini Allah swt berfirman :

“sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (Qs. Ar Ra’d [13] :11)

meluruskan kepedulian


Partai adalah kelompok manusia yang memiliki pemikiran tertentu, memiliki ikatan antar anggotanya serta mempunyai seorang pemimpin yang memimpin kelompok tsb. Ikatan mereka sendiri terbentuk dari ideologi dan sejumlah pemikiran-baik pemikiran administratif maupun pemikiran berkaitan ilmu sistem (an-nizham) dan derivatnya yang diadopsi bersama oleh setiap anggota-serta tujuan yang hendak diwujudkan melalui aktivitas jama’ah.

Politik itu sendiri adalah pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri. Pemeliharaan dan pengaturan itu dilakukan dengan serangkaian aturan dan sistem. Jika politik menjadi sifat partai yan gmenyifati partai secara keseluruhan dan menjadi aktivitas utamanya maka partai itu merupakan partai politik yang sesungguhnya. Dengan demikian, parpol islam adalah partai politik yang seluruh ide dan pemikirannya mulai dari pemikiran mendasar (akidah), pemikiran cabang (aturan dan sistem), sampai pemikiran dalam tataran teknik operasional bersumber dari islam.

Dalam wacana Al Qur’an, partai (al hizb) disebutkan 2 kategori, yaitu

  1. Partai (golongan) Allah (Hizbullah).

  2. Partai (golongan) setan (hizb asy-syaythan).

Penyebutan al Qur’an dengan 2 term ini bukan dari sisi sifat, karena penyebutan ke-2 term ini diikuti oleh penjelasan karakter masing-masing kategori partai. Mereka yang termasuk hizb as syaythan adalah setiap orang atau kelompok (partai) yang telah dikuasai oleh setan dan setan menjadikan mereka lupa mengingat allah. mereka menjadikan kaum yang dimurkai oleh Allah sebagai teman, mereka menjadikan sumpah2 mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi manusia dari jalan allah. setan menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat allah dan mereka termasuk orang2 yang menentang allah dan rasul-Nya.

Dengan demikian, partai setan adalah partai yang durhaka, membangkang, menyalahi kebenaran dan tuntutan dari allah, mengkampanyekan kemaksiatan (setiap bentuk penyelewengan dari ketentuan allah), dan menyeru manusia (umat) untuk berpaling dari jalan Allah. didalamnya termasuk pula partai yang menyerukan ide dan aturan (SISTEM) kufur.

Sebaliknya, yangn termasuk Hizbullah adalah mereka tidak berkasih sayang dengan orang2 yang menentang allah dan rasul-Nya, siapapun mereka, yaitu mereka yang mendorong manusia mengambil jalan Allah, mengajak pada ketaatan, serta menyerukan risalah aturan dan sistem yang diturunkan dari sisiNya untuk mengatur dan menyelesaikan setiap problem manusia.

Dari sini kita dapat menyimpulkan, bahwa partai Allah (partai islam) adalah partai yang berasaskan akidah islam serta mengambil dan menetapkan ide-ide hukum2 dan pemecahan yang islami. Metode operasionalnya adalah metode (thariqah) rasulullah.

Dengan demikian, justifikasi parati bukanlah dengan nama, tetapi kesesuainnya dengan asas, karakter dan aktivitas partai.

Kampanye partai

Kampanye partai di negeri ini mulai menghangat menjelang pemilu. Pasca pemilu kampanye melemah dan nyaris berhenti. Terlihat bahwa kampanye partai dilakukan dalam rangka pemilu saja. Dnegan begitu, kampanye partai tersebut sarat dengan kepentingan sesaat partai. Yaitu untuk pemenangan pemilu. Dalam hal ini, menang pemilu menjadi standar. Apalagi kampanye itu masih dalam bingkai sistem perpolitikan yang mengartikan politik sebagai hal ihwal yang terkait dengan kekuasaan serta bagaimana memperoleh kekuasaan dann mempertahankannya. Lahirlah kemudian materi kampanye yang melambungkan harapan umat akan kesejahteraan, kemakmuran, pemerintahan yang bersih, dan segudang kebaikan lainnya. Setelah kampanye, slogan2 itu pun tinggal kenangan. Nasib rakyat tetap menderita.

Akhirnya, rakyat menilai keberadaan parpol tidak membawa kemaslahatan bagi mereka. Hasil jajak pendapat Kompas memperlihatkan bahwa 74% responden yang berasal dari kota2 besar di indonesia menilai sejauh ini kegiatan kampanye tidak bermanfaat bagi kepentingan mereka, melainkan hanya menguntungkan segelintir elit parpol semata. (kompas).

Aura primordialisme juga menjadi sangat kental, karena iklim kampanye yang tercipta bukanlah iklim kampanye yang saling mendukung, tetapi iklim persaingan di belantara kebebasan. Ketegangan antara pengurus partai pun tidak jarang menjadi konsekuensi yang tidak terhindarkan.

Dalam bingkai sistem kapitalis dengan sistem politik demokrasi, partai yang vis a vis dengan demokrasi dan ideologi kapitalis dimarjinalisasi dan diberangus. Akhirnya dalam pemilu, hanya partai yang mengemban demokrasi atau minimal tidak mempermasalahkan demokrasi saja yangn mendapat ruang. Akibatnya, kampanye partai di negeri ini dipenuhi dengan seruan ide kapitalisme, demokrasi, HAM, kebebasan, pluralisme dan ide sejenis. Partai2 islam pun merasa tidak afdhal kalau tidak menghiasi kampanyenya dengan seruan tersebut. Seruan Islam akhirnya dibingkai dengan demokrasi, HAM, kebebasan, pluralisme dsb. Padahal semua itu justru berseberangan secara diametral dengan Islam.

Kampanye Islami

Al Quran memberikan petunjuk mengenai kampanye seharusnya dilakukan dan diemban oleh partai. Allah menegaskan dalam firmannNya

Hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyerukan Islam, memerintahkan kemakrufan dan mencegah kemungkaran. (Qs. Ali Imran [03] 104)

Dengan merujuk pada ayat tersebut, maka kampanye tersusun dalam 2 format kampanye :

  1. yad’una ila al-khayr (menyerukan kebaikan), yakni Islam. Hal ini tentu tidak hanya sekedar mengkampanyekan nilai2 moral islam, tetapi mengkampenyakan islam secara keseluruhan-akidah islam dan serangkaian aturan (sistem) islam. Kampanye berupa seruan pada islam ini, agar tidak bersifat semu,m haruslah berupa kampanye menuju penerapan islam secara keseluruhan. Tanpa itu, kampanye hanya akan menjadi pemberian informasi tentang islam. Sebab kampanye bukan hanya memberi informasi, tetapi mengandung unsur menyeru, mengajak, meyakinkan dan menuntun masyarakat agar mengadopsi, mengmban, menerapkan dan memberikan loyalitas pada islam, juga memuat aktivitas menyingkap keburukan selain islam serta membantah dan meruntuhkan argumentasinya-misalnya terhadap kapitalisme, demokrasi, kebebasan, pluralisme, Ham dan sebagainya.

  2. ya’muruna bi al-ma’ruf wa yanhawna ‘an al munkar (memerintahkan kema’rufan dan mencegah kemungkaran). Kema’rufan adalah segala yang dima’rufkan oleh Islam, yaitu segala hal yang diwajibkan, dianjurkan atau yang dibolehkan oleh islam. Sebaliknya, kemungkaran adalahh segala hal yang menyalahi syariat. Partai harus mengkampenyakan kema’rufan dan mencegah kemungkaran. Sebagai bagian dari aktivitas ini dan yang terpenting adalah mengoreksi penguasa.

Kedua format kampanye inilah yang seharusnya diadopsi dan dilakukan oleh parpol yang ada, bukan format kampanye yang berupa janji2 palsu, slogan2 tanpa makna yang samar dan kabur dari gambaran penerapannya, juga bukan format kampanye ideologi, pemikiran, aturan dan sistem kufur yang notabene bertentangan dengan Islam. Kampanye seperti ini hanya akan mengantarkan umat pada keterbuaian dengan mimpi2 dan harapan yang sia2, yang akan mengembalikan mereka pada kekecewaan dan penderitaan yang berulang-ulang tanpa henti.

Adakah parpol yang sesuai dengan kedua format tersebut? ahhh Sulit menemukannya…


Meluruskan Kepedulian

Merujuk ayat 104 surat ali imran di atas maka hendaknya kita secara jeli melihat kampanye setiap partai untuk dianalisis dan dinilai mana yang memenuhi format kampanye yang seharusnya menurut Al Quran.

Kepada parpol yang memenuhi kedua kriteria inilah (karakter kepartaian: asas, karakter dan aktivitas; dan kriteria kampanye) yang layak mendapatkan kepedulian bahkan dukungan dan loyalitas. Sebaliknya yang tidak memenuhi kriteria tersebut, Tidak layak mendapatkannya bahkan harus diluruskan, ditentang dan dibantah.


sumber: al wa'ie